Chapter 1
#Cultural Night Berdarah
Jum’at 15
February 2013
Entah apa
yang merasuki ku sampai aku ingin sekali kembali ke camp, camp yang dimana aku
menjadi panitia di dalam event se-nasional itu. Padahal sekitar 1 bulan yang
lalu aku tidak ingin menjadi panitia di event tersebut, “buang – buang tenaga
dan waktu”, pikirku pada saat itu. Tetapi setelah 10jam meninggalkan camp
tersebut karena suatu alasan, aku merasa ada yang hilang, mungkin suasana
disana.
Apalagi malam
ini adalah jadwal malam kebudayaan, atau bahasa kerennya Cultural Night. Aku
kembali kesana tepat pukul 15.00 WIB . memakan waktu lebih kurang 1 jam
perjalanan dari rumah ku ke camp tersebut.
Oh ya nama
ku Adi, badanku terbilang gemuk , aku mahasiswa semester 6 di Universitas
Swasta di Jakarta, IP ku lumayan diatas rata setiap semesternya, dan aku
mempunyai keahlian di bidang design, baru aku sadari event ini seperti
mengulang kebiasaan lama di bidang organisasi ku saat SMA, aku di tempatkan di
bagian Design, mulai dari ID card peserta Camp, sampai Spanduk yang di butuhkan
oleh kegiatan camp.
Sesampai nya
di camp aku langsung di sibuk kan dengan kegiatan panitia, kebetulan aku di
divisi yang tidak memerlukan banyak tenaga dan hanya bertugas di depan komputer,
jadi jika aku sudah selesai aku bisa
membantu jalannya acara atau pekerjaan lainnya. Pukul 18.30 aku orang terakhir
yang mandi untuk ke acara Malam Kebudayaan di camp ini, sungguh melelahkan
duduk 2 ½ jam di depan komputer.
“aaah segar”
kataku sesaat aku keluar dari kamar
mandi.
Disaat aku
mengganti pakaian di kamar paling pojok, ada suara teriakan cukup keras dari
arah meja komputer ku di depan. Padahal tadi saat aku meninggalkan meja
komputer ku, asrama panitia ini kosong tanpa penghuni kecuali aku. “mungkin kak
uli bercanda dengan bude yuli” pikirku. Kedua perempuan hampir separuh baya ini
memang bertugas di sekretariat dan satu komputer denganku, jadi harus
bergantian jika ingin memakai komputer disini.
Aku memakai pakaian
adat bali untuk Malam Kebudayaan ini, lengkap dengan Udeng (Seperti ikat kepala
yang biasanya di pakai pada upacara keagamaan masyarakat bali), aku bersiap dan
keluar sampai akhirnya di meja depan ‘ASTAGA’, baru aku tau kalo ternyata
teriakan ka uli tadi adalah teriakan ke sakitan, perempuan hampir separuh baya
itu sudah tak sadarkan diri, tangannya pun sudah putus entah kemana, lantai
depan sudah banyak bercak berwarna merah.
Aku berfikir
pasti ada perampok yang berusaha masuk kesini dan menebas tangan perempuan
hampir separuh baya itu.
Aku yang
panik segera berlari ke kamarku untuk mendapatkan telepon genggam milikku, aku
berusaha menghubungi ketua panitia dari acara ini atau polisi, hasilnya nihil.
Telepon genggam ku tidak mendapatkan signal di tempat ini. Di saat aku masih
berusaha mencoba melakukan sambungan telepon dari luar, tiba-tiba terdengear teriakan
wanita dari arah jendela kamar panitia di tempat dimana aku berada sekarang.
Astaga, apa
yang kulihat dari jendela kamar ini seperti dalam film atau dalam serial komik,
manusia memakan manusia lainnya seperti kanibal, namun orang yang telah di
makan akan bangkit lagi dan mengejar manusia yang masih hidup.
Orang –
orang di aula yang sedang bersiap mengikuti malam kebudayaan pun berhamburan
keluar, se per sekian detik aku melihat kejadian itu dan tak lama aku di
kejutkan oleh langkah kaki, ternyata itu Kak Uli di meja depan sudah bangun
layaknya mayat hidup dan sampai di ujung kamar, aku yang melihat kak uli tanpa
tangan kirinya merasa kasihan, tetapi sekali lagi dia bukan manusia lagi.
Tatapan matanya kosong tanpa arah tetapi sepertinya ia tau jika ada aku disini.
Apa yang
harus ku perbuat ? membunuhnya ? apa kata orang-orang jika aku membunuhnya ?
tetapi jika aku tak membunuhnya aku yang akan menjadi seperti itu, aku juga
akan membunuh seseorang dan orang yang aku bunuh pun bangkit lagi, ‘ARGHHH apa yang
terjadiiiiii sebenarnya ??’
Aku membeku
dalam ketakutan ku sendiri, sementara ka uli yang ingin menjadikan aku santapan
makan malamnya terus mendekati ku sambil mengeram, matanya melotot tak berkedip,
giginya seperti tumbuh sekitar ½ cm mungkin digunakan untuk mengunyah daging ku
sekarang. Aku hanya bisa diam sampai akhir nya tepat 2 langkah lagi perempuan
hampir separuh baya ini menjadikan aku sebagai santapan makan malamnya.
Tiba - tiba
muncul sekelebat sosok membawa keyboard komputer dan menghantamkannya ke kepala
mayat hidup di depanku, awalnya aku tidak tau siapa dia karena terhalang oleh
ka uli.
Sampai
ketika Terpental lah kak uli yang sedari tadi ingin menjadikan ku santapan
makan malamnya, tak lupa juga ia meninggalkan bercak darah pada keyboard, muka
ku dan tentu saja di lantai. Dan aku
baru tau siapa yang melakukan itu. itu Hilman dia salah satu panitia juga dan
secara kebetulan dia juga satu kamar dengan ku “Eh Bodoh, kau buta? Ngga liat
semua ini ? Buruan bawa apa saja yang bisa buat mecahin kepala orang, dan kita
kabur dari sini. Aku menjaga pintu depan kau berkemas cepat” . katanya dengan
logat khas daerahnya
Aku yang
bingung harus membawa apa mulai kelihatan gugup, akhirnya aku keluarkan semua
pakaian ku dari ransel hijau yang aku bawa dari rumah tadi siang. Aku teringat
ada gunting dan pisau di kamar nomer satu, mungkin aku bisa membawa itu, lalu
aku juga menyimpan pisau lipat di tas dan juga payung kecil mungkin akan
berguna nanti, aku teringat akan satu hal,
kemarin siang aku memainkan senter dan aku menaruh senter itu tepat di bawah
tempat tidurku dan ternyata ada.
Hilman yang
sudah ketakutan karena mayat hidup mulai banyak mulai meriakiku “WOY, buruan
KAU MAU MATI dan menjadi salah satu dari ‘MEREKA’??”
“TUNGGU…!!”
kataku sambil berteriak, orang-orang di luar sudah teriak juga mungkin mereka
menjadi santapan mayat hidup juga di luar
Aku butuh
beberapa peralatan lagi, aku lihat di bawah tempat tidur lain ada peralatan
perkakas untuk memasang spanduk tadi siang, tanpa melihat apa isinya aku
membawanya dan memasukan ke tas ransel hijau yang aku bawa sekarang.
Hilman yang
sedari tadi menahan pintu sudah merasa resah, dia menunggu kedatangan ku. “WOY
, SITUASI LAGI GENTING GINI LO MALAH LAMA…!! TUAN PUTRI BURUAAAAN”
“Ngga ada
guna nya teriak bodoh” kataku agak pelan, setahuku seperti di dalam film atau
komik mereka bereaksi terhadap suara jadi percuma saja jika kau berteriak akan
sama saja mengundang mereka untuk datang kesini.
Akhirnya
hilman menyuruhku untuk menggeret sofa, meja dan apapun yang ada untuk menahan
mereka. Ide ini cukup berhasil menahan mereka yang akan masuk dari arah pintu
depan, walaupun untuk sementara.
Aku segera
berlari mengikuti hilman menuju ke belakang, ke depan kamar dimana tadi aku
hampir menjadi santapan makan malam ka uli, atau sekarang bisa di bilang “MAYAT
HIDUP”.
“Ambil Sprei
dikamar, terus gw butuh palu yang mungkin tadi udah lo ambil” kata hilman sudah
mulai agak tenang, mungkin karena tadi kuberi tahu jika kita berteriak sama
saja mengundang ‘MEREKA’, ketempat kita berteriak.
Aku yang
agak bingung hanya melaksanakan perintah hilman, dia lah yang memberi komando
disini, mungkin dia tau jalan terbaik.
Di pasangnya
sprei itu di jendela dan di hantamkannya jendela tersebut dengan palu.
‘BRUANK’
Aku mulai
mengerti, kita akan keluar dan ide hilman memecahkan jendela itu salah besar,
karena ada beberapa jendela di asrama panitia ini yang sebenarnya bisa dibuka
tanpa harus memecahkannya .
‘Aku juga
yang bodoh kenapa tidak bilang dari tadi, tapi hilman juga yang salah kenapa
tidak berkomunikasi padaku terlebih dahulu’ pikirku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar